YOGYAKARTA, RIMANEWS- Puluhan demonstran yang mengenakan blangkon berunjuk rasa di Kawasan Wisata Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Spanduk merah putih bertuliskan "Amanat pasal 18 UUD 1945 Kembalikan Provinsi Daerah Istimewa Surakarta Sesuai Maklumat 1 September 1945" terbentang. Alunan lagu Jawa pun mengumandang, Selasa (14/12).
Koordinator komunitas pendukung Provinsi Daerah Istimewa Surakarta, Sutardi mengatakan, deklarasi ini dihadiri perwakilan masyarakat tujuh kabupaten. "Ada Surakarta, Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, Klaten, Wonogiri, dan Sragen," kata dia kepada VIVAnews, Selasa siang.
Kata dia, acara ini untuk mengingatkan semua pihak agar status Daerah Istimewa dikembalikan pada Surakarta. "Dengan tujuan demi kemakmuran dan kemajuan budaya Jawa karena Surakarta karena sumber budaya Jawa," kata dia.
Sementara itu, Analis politik Universitas Gadjah Mada, AAGN Ari Dwipayana, berpendapat upaya membentuk 'Daerah Istimewa Surakarta' sangat sulit dilakukan. Ada beberapa faktor penyebabnya, antara lain sejarah dan sosiologi politik yang berbeda dengan Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Sebenarnya kalau melihat ke sejarah awalnya, ada empat kerajaan yang mendapat piagam kedudukan keistimewaan yaitu Kesultanan Deli, Kesultanan Bone, Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Tetapi dengan proses berjalannya waktu hanya keraton Yogyakarta saja yang bertahan,“ kata pengajar di Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM itu, Selasa 14 Desember 2010.
Menurut Ari, adalah keberhasilan Sultan Hamengku Buwono IX yang memimpin Keraton Yogyakarta melakukan proses demokratisasi. Yogyakarta berhasil meleburkan tata kesultanan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Ya, antara tahun 1945-1950 di Indonesia memang penuh proses demokratisasi. Dan sekali lagi yang bertahan adalah Keraton Yogyakarta,“ tuturnya.
Rahasia Yogyakarta bertahan itu karena proses sejarah dan sosiologi masyarakat yang berbeda dengan tiga bekas kesultanan lain. “Misal kita bandingkan ya, antara Surakarta dan Yogyakarta. Di Surakarta pernah terjadi pemberontakan anti-swapraja. Waktu itu para pemangku jabatan di Keraton dibunuh oleh mereka yang antiswapraja. Padahal di Yogyakarta, proses demokratisasi Keraton berjalan dengan mulus,“ ujarnya.
“Nah sekarang kalau dilihat dari kondisi sosiologis politik masyarakatnya, maksudnya adalah tingkat penerimaan masyarakat terhadap keberadaan Keraton denngan label istimewa tersebut. Kan jelas beda," katanya.
Kemudian, untuk mengajukan atau mungkin menagih kembali hak istimewa untuk dijadikan sebagai sebuah proses politik nasional perlu dilihat juga mengenai siapa yang menginginkan dan mengusulkan. “Untuk menjadi proses politik nasional sepertinya untuk 'Daerah Istimewa Surakarta' sulit. Karena yang mengajukan untuk menjadi daerah istimewa adalah berdasar konsensus daerah bukan konsensus entitas," katanya.(viva/ian)
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar